Krakatoa…anak krakatau…sebentuk bayangan besar yang selalu berhasil memancing rasa ingin tahuku sejak masih duduk di sekolah dasar. Kami sekeluarga menyukai pantai dan berenang, dan pantai Labuan-Anyer adalah tempat kami menghabiskan akhir pekan.
Saat cuaca cerah, bayangan besar itu terlihat di ujung horison, dikatakan sebuah pulau yang dahulunya adalah gunung berapi, The Krakatoa Volcano. Kini yang tersisa hanya beberapa pulau, salah satunya yang terlihat saat ku masih kecil adalah pulau Rakata. Bukan hanya meninggalkan pulau-pulau, seakan menginfinkan kisahnya terus dikenang, Krakatoa memiliki penerus, Anak Krakatau, yang masih terus tumbuh hingga hari ini.
Dini hari yang gelap ini, tanpa adanya sambungan listrik negara ke pulau Sebesi, kami kelompok perjalanan yang diadakan oleh Dejavu Adventure, akan bergerak menuju pulau Anak Krakatau.
Kami berjumlah 22 orang, beberapa diantara kami adalah anak.anak. kami mulai menaiki kapal kayu, kendaraan yang akan membawa kami melewati perairan melawan angin laut menuju Anak Krakatau.
Bersama dengan seorang teman perempuan, saya memilih untuk duduk di depan kabin kapten, beralaskan gulungan tambang, kaki-kaki sudah berada di posisi stabil guna mengantisipasi goyangan kapal. Tak lama setelah kapal meninggalkan dermaga, kututupi badan dan tas kecilku dengan kain.
Saat para nelayan kembali ke pulau, kami meninggalkan pulau, maka tentu saja kami menghadapi angin laut dan deburan ombak yang langsung membawa air laut yang sejuk ke anjungan kapal tempat kami berada.
Begitu kuatnya ombak laut, hingga sempat beberapa saat aku kira kapal akan terbelah dua karena gempuran ombak. Temanku sudah memegang tali tambang yang terikat pada tiang, begitu eratnya seakan keselamatan nyawanya berada di tambang tersebut.
Lalu, seperti kekonyolanku yang sudah-sudah, yang kulakukan adalah berseru dan berteriak kesenangan dengan hiburan laut, kapan lagi kita diayun sekuat itu, di siram air asin dingin, dan dikeringkan oleh angin laut. Tambah lagi, pada akhirnya dihangatkan oleh sinar mentari pagi dengan pemandangan Anak Krakatau di depan mata.
Temanku baik-baik saja, basah kuyub itu tentu, tapi kurasa dia menikmayi kekonyolanku. Terutama saat laut memberikan semburan ombak ekstra ke arahku. Itu cukup membuatnya tertawa. Saat matahari muncul, baru kami menyadari ransum gorengan kami berjatuhan, jadilah sarapan gorengan rasa air laut dan kopi hitam hangat terbungkus plastik, menu kami pagi itu.
Saat kami merapat ke pulau Anak Krakatau, barulah kami mendengar cerita dari teman-teman di kabin penumpang. Bahwa sebagian besar dari mereka akhirnya muntah-muntah karena goyangan kapal yang begitu kencang.
Kapten kapal pun sempat memeriksa kondisi kami berdua di anjungan, masih dengan helm motor yang dikenakannya saat mengendalikan kapal melawan ombak besar. Kenapa pakai helm? Pertanyaan yang muncul dibenakku juga, tutur sang kapten, dia memerlukan helm tersebut untuk melindungi muka dan matanya dari air ombak yang sampai ke kabinnya. Beliau terlihat lega saat melihat kami berdua baik-baik saja, kuyub dan ditertawai karena kekonyolan kami, tapi kami baik saja.
Selanjutnya adalah pendakian menuju puncak Anak Krakatau. Kaki ini tak pernah melangkah seorang diri, sekonyol apapun langkah yang kuambil, pada setapak yang kutempuh akan selalu ada kawan berbagi tawa canda cerita.